Selasa, 20 Desember 2011

Keterampilan Generik Sains

Keterampilan generik sains merupakan kemampuan berpikir dan bertindak (siswa) berdasarkan pengetahuan sains yang dimilikinya, yang diperoleh dari hasil belajar sains. Menurut Brotosiswoyo (2004) dalam Rustian (2009), keterampilan generik sains ialah kemampuan dasar (generik) yang dapat ditumbuhkan ketika peserta didik menjalani proses belajar ilmu fisika yang bermanfaat   sebagai   bekal   meniti   karir   dalam   bidang   yang   lebih   luas.
Menurut Brotosiswoyo (2000) dalam Liliasari (2011), terdapat 9 (sembilan) keterampilan generik yang dapat dikembangkan melalui pengajaran fisika, yaitu :
1.             Pengamatan langsung
Pengamatan langsung adalah mengamati objek secara langsung dengan menggunakan alat indera. Sebagai contoh, ketika kita mengamati gelombang air yang terbentuk saat kita melempar batu dalam sungai. Aspek pendidikan yang dapat muncul dari pengamatan langsung adalah kesadaran akan batas-batas ketelitian yang dapat diwujudkan dan sikap jujur terhadap hasil pengamatan. Baik indera kita maupun alat bantu yang kita gunakan dalam pengamatan mengandung keterbatasan, dan itulah sebabnya kita mengenal “teori ketidakpastian” dalam pengukuran.
2.             Pengamatan tidak langsung
Pengamatan yang menggunakan alat bantu karena keterbatasan alat indera kita. Penggunaan jangka sorong untuk mengukur jari-jari luar dan dalam tabung reaksi merupakan contoh dari pengamatan tak langsung. Pengamatan tidak langsung mengajarkan pada manuasia akan keterbatasan kemampuannya, sehingga perlu selalu mawas diri.
3.             Kesadaran tentang skala besaran
Fisika membahas peristiwa-peristiwa alam baik dalam keadaan makro maupun mikro. Untuk besaran panjang, fisika membahas ukuran yang sangat besar misalnya tahun cahaya, tetapi juga membahas ukuran panjang yang sangat kecil misalnya ukuran molekul atau atom. Dalam skala waktu, fisika juga membahas ukuran waktu yang sangat kecil seperti lifetime dari pasangan elektron-positron, sebab mata manusia hanya dapat membedakan signal yang muncul kira-kira 1/30 detik. Jadi meskipun ada ribuan proses rekombinasi elektron-positron yang terjadi dalam 1/30 detik, manusia hanya dapat mengatakan bahwa hanya terdapat satu proses rekombinasi saja karena yang lain tidak terdeteksi oleh indera penglihatan manusia.
4.             Bahasa simbolik
Banyak perilaku alam yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa komunikasi sehari-hari, khususnya perilaku yang bersifat kuantitatif. Sifat kuantitatif tersebut menyebabkan adanya keperluan untuk menggunakan bahasa yang kuantitatif juga. Ungkapan persamaan usaha yang dilakukan oleh gas ketika berekspansi secara isotermal dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial merupakan contoh penggunaan bahasa simbolik. Dalam belajar fisika penggunaan bahasa simbolik sangat membantu dalam mengomunikasikan ide yang kompleks menjadi lebih sederhana.
5.             Kerangka logika taat azas dari hukum alam
Dalam ilmu fisika diyakini bahwa aturan alam memiliki sifat taat azas secara logika. Contoh pemikiran yang taat azas dalam fisika adalah hukum mekanika Newton dan elektrodinamika Maxwell dapat dibuat taat azas dengan relativitas Einstein. Menurut mekanika Newton, kecepatan benda dapat berkurang atau bertambah sesuai dengan gerak pengamat atau sumbernya, sedangkan menurut Elektrodinamika Maxwell kecepatan gelombang elektromagnetik tidak berpengaruh oleh gerak sumber maupun pengamat. Keanehan tersebut akhirnya terjembatani oleh teori relativitas Einstein yang mengoreksi mekanika Newton sehingga secara logika keduanya taat-azas.
6.             Inferensi atau konsistensi logika
Dalam fisika dikenal beberapa penemuan partikel mikro telah didahului oleh dugaan teoritis bahwa partikel-partikel tersebut memang ada. Dalam menyampaikan dugaannya para ilmuwan mengandalkan inferensi logika. Contoh dalam kasus ini adalah inferensi logika yang dilakukan setelah munculnya teori relativitas Einstein. Pada teori tersebut muncul persoalan kecepatan cahaya sampai pada akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa ada ekivalensi antara massa benda dan energi dengan hubungan E=mc2. Hasil inferensi logika tersebut akhirnya memang benar-benar terbukti secara empiris. Contoh yang lain adalah suhu nol kelvin yang sampai saat ini masih belum dapat diverifikasi, tetapi diyakini benar.
7.             Hukum sebab akibat
Sebagian besar dari aturan fisika yang disebut ”hukum” merupakan hubungan sebab akibat. Sebagai contoh hukum II Termodinamika untuk mesin panas menyatakan bahwa mesin panas yang bekerja secara siklis tak mungkin memindahkan panas dari sebuah tandon dan mengubah seluruhnya menjadi usaha tanpa efek lain. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa hubungan variabel dalam hukum benar-benar merupakan sebab akibat diperlukan pengamatan percobaan yang secara berulang dengan mengubah-ubah variabel agar menghasilkan akibat yang konsisten sesuai perubahan variabel tersebut.
8.             Pemodelan matematis
Banyak ungkapan aturan dalam fisika yang disebut ”hukum” dinyatakan dalam bahasa matematika yang disebut rumus. Rumus-rumus yang melukiskan hukum-hukum alam dalam fisika adalah buatan manusia yang ingin melukiskan gejala dan perangai alam tersebut baik dalan bentuk kualitatif maupun kuantitatif. Jadi kita dapat menyebutnya sebagai model yang pengungkapannya menggunakan bahasa matematika. Pemodelan matematika sering disebut sebagai model simbolik karena bersifat abstrak dan dapat diungkapkan secara simbolik berupa rumus. Pemodelan matematika umumnya bertujuan untuk memperoleh hubungan yang lebih akurat yang berlaku dalam suatu sistem dalam alam. Melalui pemodelan matematik kita dapat meramalkan suatu fenomena fisika.
9.             Membangun konsep
Tidak semua gejala alam dapat dipahami dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Kadang-kadang diperlukan sebuah konsep atau pengertian-pengertian baru yang maknanya tidak ditemukan dalam bahasa sehari-hari. Misalnya adalah momen gaya yang dibentuk dari konsep gaya dan lengan gaya.
Adapun indikator keterampilan generik sains menurut Brotosiswoyo (2000) seperti yang dirumuskan dalam Widodo (2008) adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Indikator Ketrampilan Generik Sains menurut Brotosiswoyo
No.
Keterampilan Generik Sains
Indikator
1
Pengamatan Langsung
a.    Menggunakan sebanyak mungkin indera dalam mengamati percobaan/fenomena alam
b.    Mengumpulkan fakta-fakta hasil percobaan atau fenomena alam
c.    Mencari perbedaan atau fenomena alam
2
Pengamatan tidak langsung
a.    Menggunakan alat ukur sebagai alat bantu indera dalam mengamati percobaan /gejala alam
b.    Mengumpulkan fakta-fakta hasil percobaan fisika atau fenomena alam
c.    Mencari perbedaan dan persamaan
3
Kesadaran tentang skala
Menyadari obyek-obyek alam dan kepekaan yang tinggi terhadap skala numerik sebagai besaran/ukuran skala mikroskopis atau makroskopis
4
Bahasa simbolik
a.    Memahami simbol, lambang, dan istilah
b.    Memahami makna kuantitatif satuan dan besaran dari persamaan
c.    Menggunakan aturan matematis untuk memecahkan masalah /fenomena gejala alam
d.   Membaca suatu grafik/diagram, tabel, serta tanda matematis
5
Kerangka logika
Mencari hubungan logis antara dua aturan
6
Inferensi Logika
a.    Memahami aturan-aturan
b.    Berargumentasi berdasarkan aturan
c.    Menjelaskan masalah berdasarkan aturan
d.   Menarik kesimpulan dari suatu gejala berdasarkan aturan/hukum-hukum terdahulu
7
Hukum sebab akibat
a.    Menyatakan hubungan antar dua variabel atau lebih dalam suatu gejala alam tertentu
b.    Memperkirakan penyebab gejala alam
8
Pemodelan Matematik
a.    Mengungkapkan fenomena/masalah dalam bentuk sketsa gambar/grafik
b.    Mengungkap fenomena dalam bentuk rumusan
c.    Mengajukan alternatif penyelesaian masalah
9
Membangun Konsep
Menambah konsep baru
10
Abstraksi (Sudarmin, 2007)
a.    Menggambarkan atau menganalogikan konsep atau peristiwa yang abstrak ke dalam bentuk kehidupan nyata sehari-hari
b.    Membuat visual animasi-animasi dari peristiwa mikroskopik yang bersifat abstrak

Berpikir Kritis

Berpikir adalah kegiatan mental untuk menarik kesimpulan. Banyak klasifikasi dari berpikir, salah satunya adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional, yang meliputi kemampuan untuk berpikir reflektif dan independen. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi dan mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil ketika menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat  keputusan. Berpikir  kritis biasa disebut directed thinking karena berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju. Menurut Chance (1986) berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah.
Karakteristik yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
1.             Watak (Dispositions)
          Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai       sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek   terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
2.             Kriteria (Criteria)
          Dalam  berpikir   kritis   harus  mempunyai   sebuah   kriteria   atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
3.             Argumen (Argument)
          Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
4.             Pertimbangan atau pemikiran (Reasoning)
          Pertimbangan atau pemikiran adalah kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
5.             Sudut pandang (Point of View)
          Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang  berbeda.
6.             Prosedur Penerapan Kriteria (Procedures for Applying Criteria)
          Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan,   menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.
Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang bersifat konvergen dan dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis dalam Costa (1985), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. Ennis dalam Costa (1985) mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut:
1.             Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan.
2.             Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
3.             Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
4.             Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
5.             Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Wade (1995). Menurutnya terdapat delapan karakteristik berpikir kritis, meliputi:
1.             Kegiatan merumuskan pertanyaan
2.             Membatasi permasalahan
3.             Menguji data-data
4.             Menganalisis berbagai pendapat dan bias
5.             Menghindari pertimbangan yang sangat emosional
6.             Menghindari penyederhanaan berlebihan
7.             Mempertimbangkan berbagai interpretasi
8.             Mentoleransi ambiguitas.
Beyer (1988) dalam (Slavin, 2009 : 256) mengidentifikasi 10 indikator keterampilan berpikir kritis siswa antara lain :
1.             Distiguishing between verifiable facts and value claims
2.             Distinguish relevant from irrelevant information, claims, or reasons
3.             Determining the factual accuracy of a statement
4.             Determining the credibility of a source
5.             Identifying ambigous claims or arguments
6.             Identifying unstated assumptions
7.             Detecting bias
8.             Identifying logical fallacies
9.             Recognizing logical inconsintencies in a line of reasoning
10.         Determining the strength of an argument or claim

Dapat disimpulkan bahwa, 10 indikator keterampilan berpikir kritis siswa antara lain membedakan antara fakta dan klaim, membedakan antara informasi yang tidak relevan, klaim, dan alasan, menentukan keakuratan dari suatu pernyataan, menentukan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, mengidentifikasi ambiguitas dari suatu klaim atau pernyataan, mengidentifikasi asumsi yang tidak jelas atau dinyatakan, mendeteksi bias, mengidentifikasi pendapat yang keliru, mengenali penalaran yang tidak konsisten, menentukan kekuatan dari suatu pernyataan.
Beyer menyatakan bahwa sepuluh hal di atas bukan merupakan urutan dari suatu langkah tertentu melainkan lebih kepada sederetan cara yang mungkin dilakukan siswa saat mengolah informasi yang didapat untuk menentukan apakah informasi tersebut benar atau salah. Hal yang perlu dilakukan dalam mengajarkan berpikir kritis pada siswa adalah dengan membantu mereka tidak hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan strategi tersebut namun juga menyesuaikan saat-saat dimana strategi tersebut harus digunakan.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa indikator keterampilan berpikir kritis yaitu :
1.             Memberikan penjelasan sederhana
2.             Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
3.             Menganalisis berbagai pendapat dan bias
4.             Mengidentifikasi ambiguitas dari suatu pernyataan 
5.               Menyimpulkan

Berpikir Reflektif

 
Berpikir reflektif (reflective thinking) merupakan bagian dari metode penelitan yang dikemukakan oleh John Dewey. Pendapat Dewey menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif (Reflective Thinking).
Menurut John Dewey metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah yaitu :
  1. Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
  2. Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
  3. Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
  4. Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
  5. Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat.
Konsep reflektif dari John Dewey berkenaan dengan kemampuan berfikir reflektif dan bersikap reflektif. Kemampuan berfikir reflektif terdiri atas lima komponen yaitu:
  1. recognize or felt difficulty/problem, merasakan dan mengidentifikasikan masalah;
  2. location and definition of the problem, membatasi dan merumuskan masalah;
  3. suggestion of posible solution, mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah;
  4. rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan;
  5. test and formation of conclusion, melakukan tes untuk menguji solusi pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat kesimpulan.
Sikap reflektif yang tidak dapat dilepaskan dari kemampuan berfikir reflektif, dikembangkan berdasarkan konsep awal dari Dewey yang telah diperluas dan diaplikasikan oleh beberapa praktisi di bidang pendidikan guru.


Dalam artikel jurnal Teaching and Teacher Education (vol.12.no.1, Januari 1996), Helen L. Harrington cs mengemukakan dan mengembangkan tiga komponen sikap reflektif yaitu:
  1. openmindedness atau keterbukaan, sebagai refleksi mengenai apa yang diketahui, dalam pembelajaran ada tiga pola dasar yaitu pola berfokus pada guru, siswa, dan inklusif;
  2. responsibility atau tanggung jawab, sebagai sikap moral dan komitmen profesional berkenaan dengan dampak pembelajaran pada siswa saja, siswa dan guru, serta siswa, guru dan orang lainnya;
  3. wholeheartedness atau kesungguhan dalam bertindak dan melaksanakan tugas, dengan cara pembelajaran langsung guru, proses interaktif, dan proses interaktif yang kompleks.
Kemampuan berpikir reflektif terdiri dari kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif sama seperti kemampuan berpikir lainnya.

Lepasnya Status Planet dari Pluto dalam Sistem Tata Surya

Dalam dunia astronomi mutakhir saat ini, Pluto dikenal sebagai sebuah planet kerdil (dwarf planet) dalam Tata Surya.  Sebelum tahun  2006,  Pluto masih menyandang status sebagai sebuah planet terkecil dan terjauh (terletak di urutan kesembilan), bersama dengan delapan planet anggota Tata Surya lainnya mengelilingi matahari.
Namun, pada sidang umum Perhimpunan Astronomi Internasional (International Astronomical Union/IAU) Ke-26 di Praha, Ibu Kota Republik Czeko, yang berakhir 25 Agustus 2006, para astronom mengumumkan perubahan definisi planet, termasuk Pluto. Para astronom sepakat Pluto statusnya bukan merupakan planet lagi, meskipun masih mempunyai sebutan ’’planet kerdil’’ (dwarf planet).
(nugraha, arya. 31 agustus 2006. Pluto bukan planet(online), ( www.wordpress.com, diakses tgl 25 november 2010)) Hal ini disebabkan Pluto mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan kedelapan planet dalam tata surya kita antara lain:
1.    mengorbit bintang namun dirinya sendiri bukan bintang.
2.    memiliki massa yang cukup besar dan memiliki gravitasi yang cukup sehingga mampu menarik tubuhnya dan mempertahankan bentuk bulatnya, tidak terlalu besar sehingga dapat menyebabkan fusi termonuklir.
3.    memiliki jalur orbit yang jelas dan mampu “membersihkan” jalur orbitnya dari benda langit lainnya.
Pada 7 September 2006 nama Pluto diganti dengan nomor saja, yaitu 134340. Nama ini diberikan oleh Minor Planet Centre (MPC), organisasi resmi yang bertanggung jawab dalam mengumpulkan data tentang asteroid dan komet dalam tata surya kita. Pada 1978 Pluto diketahui memiliki satelit yang berukuran tidak terlalu kecil darinya bernama Charon (berdiameter 1.196 km). Kemudian  pada tahun 2005 ditemukan lagi satelit lainnya, Nix dan Hydra Sejarah Penemuan Sejak ditemukan oleh Clyde William Tombaugh, seorang astronom muda di Observatorium Lowell, pada 18 Februari 1930, Pluto kemudian menjadi salah satu anggota dari Tata Surya yang paling kontroversial. Mungkin di Galaksi Bima Sakti ini tidak ada planet yang sekontroversi Pluto.
Penemuan Pluto sebenarnya tak lepas dari ditemukannya Planet Neptunus oleh Urbain L Verrier dan kawan-kawan. Sejak Neptunus ditemukan pada  23 September 1846, diketahui bahwa orbit Neptunus tidak sama tepat dengan yang diperoleh dari perhitungan. Beranjak dari ketidaksesuaian ini, para astronom menduga adanya planet X sebagai objek yang bertanggung jawab atas ’’gangguan’’ orbit yang terjadi.
Dengan orbitnya yang sangat lonjong, jarak Pluto ke Matahari bervariasi antara 29,34 AU (jarak terdekat) sampai 49.30 AU (jarak terjauh). Satuan astronomi (AU) adalah skala jarak dalam Tata Surya yang nilai satuannya mengambil jarak rata-rata Bumi dari Matahari, yaitu 1 AU sama dengan 149.600.000 kilometer. Sedemikian lonjongnya, orbit Pluto diketahui memotong orbit Neptunus sehingga sebagian orbit Pluto berada di sebelah dalam Neptunus. Dengan orbit yang seperti ini, Pluto pun tidak selalu menjadi planet terjauh dari matahari. Selama 1979 - 1999, rekor sebagai planet terjauh dari matahari justru dipegang oleh Neptunus, karena pada saat yang bersamaan Pluto menghabiskan sebagian waktunya mengitari matahari di sebelah dalam orbit Neptunus.